Tentang Sebuah Ke(tak)hadiran
Trisno S. Sutanto
MUNGKIN terdengar paradoks: justru ketika kematian menjemput, kita baru merasa betapa kehadiran seseorang sangat bermakna. Apalagi jika orang itu seperti penanda bagi evolusi suatu bangsa yang masih harus tertatih-tatih membentuk diri.
Saya tidak mau menyebut kata pahlawan. Kata itu sudah terlalu penuh muatan ideologis dan nyaris sinonim dengan mereka yang mengangkat senjata atau ikut serta melawan penjajah, lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Apalagi gelar “pahlawan” juga kerap menjadi bagian dari transaksi pencitraan demi kepentingan politik terbatas.
Padahal kehadiran orang-orang seperti Soedjatmoko, Pramoedya Ananta Toer, Gus Dur, Y.B. Mangunwijaya, Asmara Nababan, Ibu Ade Rostina Sitompul—sekadar menyebut beberapa nama— sama sekali tidak kurang nilainya ketimbang mereka yang disebut “pahlawan” itu. Sebab pada setiap sosok tersebut, kita seperti menemukan jejak-jejak kehadiran penanda evolusi bangsa ini.
Paradoksnya, kehadiran mereka justru kian terasa ketika kematian—sang pencuri di malam hari itu—datang menjemput. Kehadirannya jadi jelas dalam ketakhadiran, dalam kekosongan yang tibatiba seperti jurang menganga terbentang sehingga membuat perjalanan sejarah berhenti sejenak. Pada titik itu, orang berusaha menggapai pegangan, dan menemukan penanda-penanda arah yang ditinggalkan oleh jejak figur-figur tadi.
Wafatnya Gus Dur adalah contoh par excellence dari soal ke(tak)hadiran itu. Ketika masih hidup, figur multidimensional itu nyaris hanya jadi pusat kontroversi, perbantahan dan bahkan caci maki yang tak jelas.
Tetapi kepergiannya mengguncang orang: ribuan, atau bahkan ratusan ribu orang, terus menerus menangisi kepergian dan menziarahi kuburnya sampai sekarang. Ratusan buku, mulai dari kajian serius sampai sekadar kumpulan kesan, diterbitkan dan laris di pasar. Orang tiba-tiba merasa, di tengah ketakhadirannya, justru sangat terasa kehadiran Gus Dur.
Sebab kehadiran Gus Dur adalah penanda yang sekaligus memberi harapan. Pada figur Gus Dur orang menemukan penanda evolusi bangsa ke depan, sintesa utuh antara kemanusiaan universal, kebangsaan, dan tradisi keagamaan yang teguh—nilai-nilai yang selalu menjadi tujuan proyek “menjadi Indonesia”.
Ketika figur itu wafat, penanda yang dihadirkan tetap membentangkan harapan ke depan. Sebuah janji, yang justru semakin hadir di dalam ketakhadiran.
Berpulangnya sang “Ibu”
Ibu Ade Rostina Sitompul adalah contoh lain dari janji itu. Aktivis kemanusiaan dan pejuang HAM yang dilahirkan 12 Desember 1938 itu selalu hadir hampir pada setiap titik krisis kemanusiaan di negeri ini. Ia memang bukan pemikir, bukan pula orator ulung, atau pandai melempar bom molotov.
Namun kehadirannya sendiri sudah sangat bermakna, sehingga membuat banyak orang selalu memanggil ia “Ibu”. Saat kebanyakan orang tak mau menoleh pada nasib para tahanan politik eks-PKI, misalnya, Ibu Ade adalah salah satu orang pertama yang memulai apa yang kemudian dikenal sebagai Pelayanan Penjara PGI. Tanpa rasa takut dan kenal lelah, ia mengunjungi dan menghibur banyak tahanan politik, memberi mereka harapan dan kekuatan.
Sejak itu, kehadiran sang Ibu selalu dirasakan oleh banyak orang dari berbagai kalangan saat krisis kemanusiaan: krisis Timor Timur, tragedi Mei 1998, tsunami Aceh, penghancuran Ahmadiyah, dan lainnya.
Saya masih ingat, berulang kali ia menelepon dan meminta saya menemani dia dalam konferensi pers guna menyatakan keprihatinannya karena kasus tertentu. Padahal tubuhnya yang sudah renta dan didera berbagai penyakit membuat jalannya tertatih-tatih. Bahkan sering ia memaksa datang, langsung dari rumah sakit tempat di mana ia menjalani pemeriksaan. Ketika saya menyarankan bahwa sebaiknya beristirahat, Ibu Ade sembari tersenyum menjawab, “Nanti ada saatnya.”
Ketika akhirnya Ibu Ade beristirahat kekal, 8 Juli 2011, terasa jelas ke(tak)hadirannya. Figur “Ibu” yang selalu memberi keteguhan dan keteduhan memang tak lagi bersama. Tetapi janji yang ia tinggalkan, dan harapan yang disibakkan karena kehadirannya, justru makin terasa bermakna.
Untuk kesekian kali sejarah bangsa ini membuktikan, di tengah pongahnya kekuasaan yang tampak berdigdaya selalu ada figur-figur yang menyalakan harapan bagi pemuliaan martabat kemanusiaan. Dan karena itu, proyek menjadi Indonesia masih sangat layak diperjuangkan.
Selamat jalan, Ibu. Saatnya sudah tiba. Beristirahatlah dalam damai. Requiescat in pace.
Berlin, 8 Juli 2011
Dimuat KOMPAS, 16 Juli 2011
Penulis adalah aktivis interfaith, sedang melakukan penelitian di Humboldt Universität zu Berlin